أَلسَّلَمُ عَلَيْكُمْ

"SELAMAT DATANG DI GELORA UMAT NEWS"

Berbeda Pandangan Dikir Berjamaah Setelah Sholat


Sejumlah ulama memiliki pandangan tentang dzikir berjamaah.

Dzikir merupakan aktivitas yang mulia. Dengan berdzikir secara khusyuk maka seorang hamba akan memperoleh ketenangan hati. Berdzikir bisa dilakukan kapan saja. Setelah shalat wajib, shalat sunah, atau di kala pagi dan malam hari.

Belakangan, marak fenomena dzikir berjamaah. Sekelompok orang menggelar dzikir secara bersama-sama. Lokasinya bisa di masjid atau di tempat-tempat umum. Lalu, bagaimanakah hukum pelaksanaannya?

DZIKIR BERJAMA’AH SETELAH SHALAT
 Pertanyaan. 
Apakah hukum dzikir bersama (jama’i) setelah shalat fardhu? Dan apakah ada bid’ah hasanah? Ibnu Anas, Dumai, Jawaban. Dzikir jama’i (bersama-sama) dengan suara keras setelah shalat fardhu merupakan perbuatan bid’ah izhafiyyah. Yaitu bid’ah yang asalnya ada dalilnya, tetapi caranya, keadaannya, dan perinciannya, tidak ada dalilnya. Dzikir setelah shalat merupakan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun cara bersama-sama dengan suara keras, tidak ada dalilnya. Berikut kami nukilkan di antara perkataan ulama tentang hal ini.
 1. Syaikh Syuqairi, penulis kitab as Sunan wal Mubtada’at, berkata: “Beristighfar secara berjama’ah dengan satu suara setelah salam (dari shalat) merupakan bid’ah. Dan perkataan mereka setelah istighfar: يَا أَرْحَمَ الرَّاحَمِيْنَ اِرْحَمْنَا secara berjama’ah juga merupakan bid’ah”.[1] 
2. Imam Abu Ishaq asy Syathibi rahimahullah berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak selalu mengeraskan doa dan dzikir setelah shalat. Beliau tidaklah menampakkannya kepada orang banyak selain pada tempat-tempat ta’lim (pengajaran)”[2] 
3. Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman berkata: “Bukan termasuk Sunnah (Nabi), setelah shalat orang-orang duduk untuk membaca sesuatu dari dzikir-dzikir dan doa-doa, yang diriwayatkan (dari Nabi) atau yang tidak diriwayatkan, dengan mengeraskan suara dan dengan cara berjama’ah, sebagaimana orang-orang di sebagian wilayah biasa melakukan. Pada sebagian masyarakat, kebiasaan ini termasuk telah menjadi syi’ar-syi’ar agama. Orang yang meninggalkannya dan orang yang melarangnya, malah diingkari. Sedangkan pengingkaran terhadap meninggalkannya (perbuatan itu) sesungguhnya itulah kemungkaran”.[3]
 4. Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Majlis Fatwa Kerajaan Sa’udi- telah menjelaskan bentuk-bentuk kesalahan berkaitan dengan doa dan dzikir setelah shalat. Beliau berkata,”Dzikir jama’i (bersama-sama) dengan satu suara yang keras, yang dinamakan metode al jauqah –yaitu jama’ah- dengan (membaca) tahlil, tasbih, istighfar, dan shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini merupakan pelaksanaan yang bid’ah, tidak ada dalilnya dari syari’at yang suci. Ini adalah bid’ah yang kuno, telah dijelaskan oleh al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam (kitab) Tarikh-nya (10/270), kejadian pada tahun 216 H.[4]
 5. Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al Qahthani, ketika menjelaskan macam-macam bid’ah amaliyah, antara lain beliau berkata: “…… (bid’ah) yang terjadi pada sifat melakukan ibadah yang disyari’atkan, yaitu dengan melakukannya dengan cara yang tidak disyari’atkan. Demikian juga melakukan dzikir-dzikir yang disyari’atkan dengan suara bersama-sama yang berirama. Dan seperti melakukan ibadah dengan menyusahkan diri di dalam ibadah-ibadah sampai batas keluar dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [5]
 Demikian penjelasan tentang dzikir dengan suara keras dan berjama’ah. Adapun sekedar dzikir dengan suara keras tanpa berjama’ah setelah shalat jama’ah, maka hukumnya diperselisihkan ulama. Yang lebih selamat adalah dengan suara pelan, kecuali jika ada dalil yang tegas menunjukkan dilakukan dengan cara dikeraskan, maka boleh dikeraskan. Wallahu a’lam. Bid’ah hasanah tidak ada di dalam syari’at. Ini merupakan kesepakatan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ 
“Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat”. [Hadits shahih riwayat Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad Darimi; Ahmad; dan lainnya, dari al ‘Irbadh bin Sariyah]. 
Adapun secara lughawi (istilah bahasa Arab), maka bid’ah ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (buruk).
[1]. As Sunan wal Mubtada’at, hlm. 70, dinukil dari al Qaulul Mubin fii Akh-thail Mushallin, hlm. 304, karya Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman. [2]. Al I’tisham, 1/351, dinukil dari al Qaulul Mubin fii Akh-thail Mushallin, hlm. 304. [3]. Al Qaulul Mubin fii Akh-thail Mushallin, hlm. 304. [4]. Tash-hihud Du’a, hlm. 435-436. [5]. Nurus Sunnah wa Zhulumatul Bid’ah, karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al Qahthani, hlm. 75.
Sumber : almanhaj.o.r.id

Tanya:

Assalamu’alaikum ustadz semoga Allah memberkahimu.
Sekarang banyak sekali kaum muslimin berdo’a dan dzikir bersama baik itu untuk keluarganya, kaum muslimin bahkan untuk pemimpin, Adakah secara sunnah yang benar amalan-amalan tersebut, mohon dalil-dalilnya? Jazakallah.

(Abu Hanun)

Jawab:

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuhu.

Berdoa bersama kalau yang dimaksud adalah satu orang berdoa sedangkan yang lain mengamini, maka ini ada 2 keadaan:
Pertama: Hal tersebut dilakukan pada amalan yang memang disyariatkan doa bersama, maka berdoa bersama dalam keadaan seperti ini disyariatkan seperti di dalam shalat Al-Istisqa’ (minta hujan), dan Qunut.

Kedua: Hal tersebut dilakukan pada amalan yang tidak ada dalilnya dilakukan doa bersama di dalamnya, seperti berdoa bersama setelah shalat fardhu, setelah majelis ilmu, setelah membaca Al-Quran dll, maka ini boleh jika dilakukan kadang-kadang dan tanpa kesengajaan, namun kalau dilakukan terus-menerus maka menjadi bid’ah.

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya:

يكره أن يجتمع القوم يدعون الله سبحانه وتعالى ويرفعون أيديهم؟

“Apakah diperbolehkan sekelompok orang berkumpul, berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan mengangkat tangan?”
Maka beliau mengatakan:

ما أكرهه للإخوان إذا لم يجتمعوا على عمد، إلا أن يكثروا

“Aku tidak melarangnya jika mereka tidak berkumpul dengan sengaja, kecuali kalau terlalu sering.” (Diriwayatkan oleh Al-Marwazy di dalam Masail Imam Ahmad bin Hambal wa Ishaq bin Rahuyah 9/4879)

Berkata Al-Marwazy:

وإنما معنى أن لا يكثروا: يقول: أن لا يتخذونها عادة حتى يعرفوا به

“Dan makna “jangan terlalu sering” adalah jangan menjadikannya sebagai kebiasaan, sehingga dikenal oleh manusia dengan amalan tersebut.” (Masail Imam Ahmad bin hambal wa Ishaq bin Rahuyah 9/4879).

Adapun dzikir bersama, dipimpin oleh seseorang kemudian yang lain mengikuti secara bersama-sama maka ini termasuk bid’ah, tidak ada dalilnya dan tidak diamalkan para salaf. Bahkan mereka mengingkari dzikir dengan cara seperti ini, sebagaimana dalam kisah Abdullah bin Mas’ud ketika beliau mendatangi sekelompok orang di masjid yang sedang berdzikir secara berjamaah, maka beliau mengatakan:

مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ ؟ … وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتِكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صلى الله عليه وسلم مُتَوَافِرُونَ ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِي نَفْسِي فِي يَدِهِ ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ؟! أَوْ مُفْتَتِحُوا بَابَ ضَلاَلَةٍ ؟

“Apa yang kalian lakukan?! Celaka kalian wahai ummat Muhammad, betapa cepatnya kebinasaan kalian, para sahabat nabi kalian masih banyak, dan ini pakaian beliau juga belum rusak, perkakas beliau juga belum pecah, demi Dzat yang jiwaku ada di tangannya, kalian ini berada dia atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad, atau kalian sedang membuka pintu kesesatan? (Diriwayatkan oleh Ad-Darimy di dalam Sunannya no. 2o4, dan dishahihkan sanadnya oleh Syeikh Al-Al-Albany di dalam Ash-Shahihah 5/12)

Berkata Asy-Syathiby rahimahullahu:

فإذا ندب الشرع مثلا إلى ذكر الله فالتزم قوم الاجتماع عليه على لسان واحد وبصوت أو في وقت معلوم مخصوص عن سائر الأوقات ـ لم يكن في ندب الشرع ما يدل على هذا التخصيص الملتزم بل فيه ما يدل على خلافه لأن التزام الأمور غير اللازمة شرعا شأنها أن تفهم التشريع وخصوصا مع من يقتدى به في مجامع الناس كالمساجد

“Jika syariat telah menganjurkan untuk dzikrullah misalnya, kemudian sekelompok orang membiasakan diri mereka berkumpul untuknya (dzikrullah) dengan satu lisan dan satu suara,atau pada waktu tertentu yang khusus maka tidak ada di dalam anjuran syariat yang menunjukkan pengkhususan ini,justru di dalamnya ada hal yang menyelisihinya, karena membiasakan perkara yang tidak lazim secara syariat akan dipahami bahwa itu adalah syariat, khususnya kalau dihadiri oleh orang yang dijadikan teladan di tempat-tempat berkumpulnya manusia seperti masjid-masjid.” (Al-I’tisham 2/190)

Wallahu a’lam.

Ustadz Abdullah Roy, Lc

Sumber : kolsultasidariah.com

Dzikir-Doa Bersama Setelah Shalat, Apakah Bid'ah? 

Sejak dahulu kalau saya mengimami shalat pasti saya tutup dengan doa bersama. Saya memang belum tahu hadits berkenaan dengan doa bersama setelah shalat. Tetapi karena sedari dulu amaliyah orang NU ya seperti itu, maka saya ikuti saja dan saya yakin itu benar. Belakangan amaliyah saya ini dipermasalahkan. Kata mereka Nabi SAW tak pernah melakukan doa bersama setiap selesai shalat fardlu. Mohon penjelasannya.

Jawaban: Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah swt. Sebelum masuk pada pembasan doa bersama, maka kami akan mengetengahkan secara singkat  mengenai dzikir bersama, dimana sebenarnya masalah ini sudah dibahas para ulama terdahulu. Sebagaimana yang kita ketuahi bahwa bahwa berdzikir bisa dilakukan dengan sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam shalat berjamaah sebaiknya dilakukan bersama-sama. Imam membaca dzikir dengan keras dan makmum mengikutinya. Hal ini didasarkan keumuman hadits:

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم 

 “Dari Abi Hurairah ra dan Abi Said al-Khudri ra bahwa keduanya telah menyaksikan Nabi saw beliau bersabda: ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan hati turun kepada mereka, dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (H.R. Muslim) 

Di sisi lain memang beberapa hadits shahih yang tampak memiliki maksud berbeda. Di satu sisi terdapat hadits yang menunjukkan bahwa membaca dzikir dengan suara keras setelah sahalat fardlu sudah dilakukan para sahabat pada masa Nabi saw. Hal ini sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra:

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم 

“Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ‘Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi saw” (H.R. Bukhari-Muslim)   Namun terdapat juga hadits lain yang berkebalikan, yang menunjukkan adanya anjuran untuk memelankan suara ketika berdzikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari: 

ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا (رواه البخاري 

“Ringankanlan atas diri kalian (jangan mengerasakan suara secara berlebihan) karena susunggunya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, akan tetapi kalian berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (H.R. Bukhari) 

Dari kedua hadits tersebut dapat dipahami bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir dan memelannkannya sama-sama memiliki landasan yang shahih. Maka dalam konteks ini Imam an-Nawawi berusaha untuk menjembatani keduanya dengan cara memberikan anjuran kepada orang yang berdzikir untuk menyesuakan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini adalah penjelasan Imam an-Nawawi yang dikemukan oleh penulis kitab Ruh al-Bayan.

  وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ (أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار الفكر، ج، 3، ص. 306 

“Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab) mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir terebut, menghilankan kantuk dan menambah semangatnya”. (Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306)

 Sedang mengenai doa bersama, yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah setelah imam selesai shalat bersama-sama dengan makmum melakukan dzikir kemudian imam melakukan doa yang diamini oleh makmunya. Hal ini jelas diperbolehkan, dan di antara dalil yang memperbolehkannya adalah hadits berikut ini: 

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ فَيَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني 

“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri ra –ia adalah seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidaklah berkumpul suatu kaum muslim yang sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengamininya, kecuali Allah mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani) Mahbub Ma’afi Ramdlan
Sumber: https://islam.nu.or.id

Hukum Dzikir dan Doa Setelah Shalat Fardlu dengan Suara Keras dan Berjamaah

Kami uraikan masalah ini dan beberapa pendapat ulama tentang tidak disyari’atkannya dzikir jama’i sesudah shalat fardlu. Padahal asalnya, dzikir setelah shalat itu dituntunkan oleh syari’at, dan ini diingkari karena tatacaranya yang bid’ah. Maka bagaimana dengan dzikir dan tatacaranya yang kedua-duanya adalah bid’ah?

Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hal ini:”Di negeri kami ada dua jama’ah. Masing-masing mengaku bahwa dialah yang benar. Selesai shalat, kami lihat salah satu jama’ah itu mengangkat tangan dan berdo’a secara berjama’ah dengan lafaz seperti berikut ini:

 اللهم صل على محمد عبدك ورسولك النبي الأمي وعلى آله وصحبه وسلم تسليما

“Ya Allah limpahkan shalawat dan salam sebanyak-banyaknya kepada Muhammad, hamba dan Rasul-Mu, Nabi yang Ummi (tidak dapat membaca dan menulis). Juga kepada keluarga dan para sahabatnya.”

Ada doa lain yang mereka namakan Al Fatih. Sementara jamaah lain, ketika Imam mengucapkan salam, mengatakan: “Kami tidak akan melakukan seperti perbuatan jama’ah pertama. Dan ketika jama’ah yang pertama ditanya, mereka katakan bahwa do’a ini adalah pelengkap atau penyempurna shalat, dan tidak lain hanyalah kebaikan. Adapun jama’ah kedua, mereka mengatakan bahwa do’a ini adalah bid’ah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد.

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak.”

Ada beberapa hadits lain yang mereka jadikan hujjah, dan kami hanyalah orang-orang yang masih muda belum tahu mana yang benar. Mohon agar dijelaskan kepada kami mana yang benar.”

Jawab:”Do’a jama’i setelah Imam mengucapkan salam dengan serempak, tidak ada asalnya yang menunjukkan bahwa amalan ini disyari’atkan. Dan Dewan Riset dan Fatwa memberikan jawaban sebegai berikut: “Doa sesudah shalat fardlu dengan mengangkat kedua tangan baik oleh Imam maupun ma`mum, sendirian atau bersama-sama, bukanlah sunnah. Amalan ini adalah bid’ah yang tidak ada keterangannya sedikitpun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum. Adapun do’a tanpa hal-hal demikian, boleh dilakukan karena memang ada keterangannya dalam beberapa hadits. Wabillahi taufiq. Semoga shalawat tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan cara sahabatnya. (Lajnah Daimah).

Pada bagian lain, Lajnah menjawab: “Doa dengan suara keras setelah shalat lima waktu, ataupun sunnah rawatib. Atau doa-doa sesudahnya dengan cara berjamaah dan terus-menerus dikerjakan merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Tidak ada keterangan sedikitpun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang hal ini, juga para sahabatnya radliyallahu ‘anhum. Barangsiapa yang berdoa setelah selesai shalat fardlu atau sunnah rawatibnya dengan cara berjama’ah, maka ini adalah menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan apabila mereka menganggap orang yang mengingkari hal ini atau tidak berbuat sebagaimana yang mereka lakukan sebagai orang kafir atau bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka ini adalah kebodohan dan kesesatan serta memutarbalikkan kenyataan yang ada. (Lajnah Daimah, lihat Fatwa Islamiyah 1/318-319).

(Disalin dari “Bid’ah ‘Amaliyah Dzikir Taubat, Bantahan terhadap ‘Arifin Ilham Al Banjari”, Penulis: Al Ustadz Abu Karimah ‘Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Yaman)

Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al  ugisi

Sumber darussalaf.or.id

Bagaimana Hukum Zikir Berjamaah?

Bagaimana Hukum Zikir Berjamaah?Menurut pengamatan Fatwa Tarjih, zikir berjamaah sudah terstruktur kaifiyatnya sedemikian rupa yang tidak kita jumpai dalam praktik Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan ulama salaf. Untuk menguatkan keabsahan zikir berjamaah telah disusun pula buku panduan dengan mengutip sejumlah hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum tentang zikir.

Kita tahu bahwa kata “zikir” baik yang ada di dalam Al-Qur'an atau dalam hadits-hadits bersifat umum yang memerlukan penafsiran sesuai dengan konteksnya masing-masing. Itulah alasan, maka zikir itu ada tiga macam, seperti dikatakan oleh Ar-Razi dalam kitab tafsirnya:

“Adapun dzikir itu kadang kala dengan lidah, kadang kala dengan hati, dan kadang kala dengan anggota tubuh.”

Berzikir dengan lidah seperti Allah, bertasbih dan membaca Al-Qur'an. Berzikir dengan hati menilai dalil-dalil tentang Zat Tuhan, sifat-sifat-Nya, serta penilaian pula dalil-dalil yang menunjukkan bebanan-bebanan (taklif) dari Allah, hukum-hukum-Nya, perintah-perintah-Nya, serta larangan-larangan -Nya, janji dan ancaman-Nya, juga rahasia-rahasia ciptaan Allah SWT.

Adapun zikir yang mencakup ketiga macam, yaitu zikir hati, zikir lisan, dan anggota tubuh, yaitu ibadah shalat lima waktu. Pengertian zikir dalam firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 152; yang artinya; “Karena itu, ingatlah (berzikirlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (zikir) pula kepadamu” , hal ini mempunyai cakupan yang sangat luas, yaitu ada sepuluh macam (lihat Tafsir Mafatihul-Ghaibi karangan ar-Razi pada waktu dia menafzirkan potongan ayat tersebut di atas).

Pengertian zikir dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri walaupun mengarah kepada zikir lisan, juga masih bersifat umum. Kalau pengertian zikir di situ mau dibawa kepada zikir lisan berjamaah, maka harus mengerti tentang kaifiyatnya apa diterangkan oleh Nabi saw, tidak boleh menurut hasil ijtihad kita sendiri-sendiri.

Dikatakan oleh Imam asy-Syafi'i di dalam Kitab al-Um, seperti dikutip dari Prof. TM hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya koleksi hadits-hadits Hukum juz 4 halaman (215-216), sewaktu asy-Syafii mengomentari hadits riwayat al-Bukhari , Muslim dan Abu Dawud dari sahabat Ibnu Abbas, bahwa asy-Syafii mengutarakan para imam dan makmum berzikir sesudah shalat dengan suara yang pelan (tidak keras), kecuali bila imam menghendaki latihan zikir itu diikuti oleh makmum. Di kala demikian barulah zikir itu dikeraskan, dan setelah diperkirakan) makmum sudah melihat (hafal), maka kembali lagi zikir itu dibaca pelan. Asy-Syafii berpendapat bahwa Nabi saw mengeraskan zikir seketika saja (tidak terus menerus) untuk mempelajari oleh para sahabat.

Dari uraian singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kalau berzikir itu hanya ingin menginstruksikan orang, maka diizinkan dengan suara keras. Sebahagian besar ulama salaf memakruhkan bahkan mengharamkan berzikir dengan suara keras, dengan alasan Nabi tidak menuntunkan seperti itu. Memang ada segolongan kecil ulama yang membenarkan zikir berjamaah dengan suara keras, tapi dengan sejumlah syarat yang ketat.

Menurut Tim Fatwa Tarjih, jalan yang terbaik yang harus kita tempuh adalah tidak melakukan zikir berjamaah dengan suara keras, kecuali hanya untuk mengajar para jamaah. Kita jauhi hal-hal yang tidak dipraktikkan oleh Nabi SAW dalam soal ibadah, agar kita tidak terjerumus ke dalam kancah perbuatan bid'ah yang sangat dicela oleh agama.

Penulis pimpinan pusat muhamadiyah

Sumber: www.fatwatarjih.com

Ragam pandangan Ulama Soal Dzikir Berjamaah

Sejumlah ulama memiliki pandangan tentang dzikir berjamaah.

Dzikir merupakan aktivitas yang mulia. Dengan berdzikir secara khusyuk maka seorang hamba akan memperoleh ketenangan hati. Berdzikir bisa dilakukan kapan saja. Setelah shalat wajib, shalat sunah, atau di kala pagi dan malam hari.

Belakangan, marak fenomena dzikir berjamaah. Sekelompok orang menggelar dzikir secara bersama-sama. Lokasinya bisa di masjid atau di tempat-tempat umum. Lalu, bagaimanakah hukum pelaksanaannya?

Menurut Prof Kamal Bughlah, dalam kajiannya yang berjudul Hukmu al-Jahr wa al-Ijtima’ ‘ala adz-Dzikr, polemik dzikir seperti ini pernah mengemuka di kalangan para salaf. Di masa kini, pembahasannya pun tetap menarik perhatian para ulama. Para ulama berselisih pandang menyikapi hukum dzikir berjamaah.

Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi berpendapat bahwa dzikir berjamaah hukumnya haram dan termasuk bidah. Pendapat itu dikeluarkan oleh lembaga yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dengan anggota Syekh Bakar Abu Zaid, Abdul Aziz Alussyekh, Shalih al-Fauzan, dan Abdullah bin Ghadyan.

Pandangan ini juga merupakan opsi yang dipilih oleh Asosiasi Ulama Senior Arab Saudi. Menurut mereka, aktivitas semacam itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Seperti hadis Bukhari Muslim yang diriwayatkan dari Aisyah, “Maka segala apa yang tidak pernah diteladankan oleh Rasul, hukumnya tertolak”. Artinya, tidak boleh dilakukan.

Dzikir yang dicontohkan oleh Rasul ialah dzikir individual dengan bersuara usai shalat lima waktu. Ini seperti hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibn Abbas. Sekalipun pada dasarnya bacaan-bacaan yang dikeluarkan saat berdzikir berjamaah pernah diteladankan Rasul tetapi cara penyampaiannya tidak dibenarkan. Ini dianggap bidah. Sebab, dzikir yang disunahkan bersifat individual, bukan berjamaah.

Kelompok ini menukil fatwa yang disampaikan oleh Imam Syathibi dan Ibnu Taimiyyah. Menurut Syatibi, kegiatan semacam ini tidak pernah sekalipun terlaksana semasa Rasulullah hidup. Karena itu, Ibnu Taimiyah juga menegaskan, Rasul dan para sahabatnya tidak berdzikir berjamaah, baik ketika shalat Shubuh, Ashar, atau shalat lainnya. Usai shalat, justru waktu itu dipergunakan oleh Rasulullah untuk menyampaikan nasihat dan pelajaran agama.

Sedangkan, kubu yang kedua, kata Prof Kamal, tidak sependapat dengan pihak pertama. Menurut mereka, tak ada larangan pelaksanaan dzikir berjamaah. Bahkan, para salaf menganjurkannya. Imam Malik dalam Muwatha, memperbolehkan dzikir yang dibaca secara berjamaah.

Ibnu Qudamah yang bermazhab Hambali juga demikian. Ini seperti terdapat di kitab al-Mughni. Pernyataan serupa juga terdapat di kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i. Mazhab Hanafi juga berpandangan bahwa hukum dzikir berjamaah boleh. Ini seperti dinukilkan dari al-Bahr ar-Raiq dan Durar al-Ahkam.

Karenanya, Imam Nawawi menegaskan, dzikir berjamaah dengan bersuara tidak dilarang, bahkan disunahkan. Menurut Mazhab Syafi’i, bahkan lebih utama. Ini juga merupakan salah satu pendapat imam Ahmad dan Malik, seperti dinukilkan oleh Ibnu Hajar.

Salah satu dasar yang dijadikan dalil ialah hadis riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh sejumlah imam, yaitu Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, dan Abi Syaibah, serta al-Baihaqi. Hadis itu menegaskan, tidaklah berkumpul suatu kaum duduk bersama lalu berdzikir kepada Allah, kecuali mereka akan dilindungi oleh para malaikat.

Atas dasar inilah, Imam Suyuthi menyanggah pendapat mereka yang menolak dan melarang dzikir bersuara atau berjamaah. Pendapatnya itu tertuang dalam risalah kecil yang berjudul Natijat al-Fikri fi al-Jahri bi adz-Dzikri.

Syekh Abdul Haq ad-Dahlawi dalam kitabnya Taushil al-Murid ila al-Murad, bi Bayan Ahkam al-Ahzab wal-Awrad memaparkan argumentasi diperbolehkannya dzikir berjamaah secara mendetail dan lengkap. Dalam kitab berbahasa Persia yang telah dialihbahasakan ke bahasa Arab itu, ia berkesimpulan bahwa dzikir bersuara dan berkumpul untuk melakukannya bersama di suatu majelis atau masjid boleh dan ada dasarnya.

Syekh Abdul Fattah Abu Ghaddah mengatakan, sejumlah ulama memang melarang dzikir dengan suara keras, baik yang dilaksanakan secara individual atau kolektif. Namun, menurutnya, pendapat yang benar justru menyatakan sebaliknya.

Dzikir berjamaah dengan bersuara diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini seperti dijelaskan Imam al-Aknawi al-Hindi. Syarat yang dimaksud, misalnya tidak boleh berlebihan dan menimbulkan kebisingan serta hendaknya tidak memicu aksi pamer (riya).

Selain itu, Syekh Abu Ghaddah menambahkan dugaan bahwa Ibnu Taimiyah melarang dzikir berjamaah tak sepenuhnya benar. Dalam Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah membantah seseorang yang menolak dzikir berjamaah dengan rentetan ritual, seperti pembacaan Alquran, shalawat atas Nabi, tahlil, tasbih, dan tahmid, atau takbir.

Menurut Ibnu Taimiyah, aktivitas berdzikir dan mendengarkan lantunan ayat suci Alquran dengan berjamaah merupakan kegiatan positif. Ini termasuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan bentuk ibadah yang paling utama. Hanya saja, ia menggarisbawahi agar ini tidak dilakukan rutin tiap waktu. Sebab, untuk menghindari persepsi dan asumsi sebagian orang bahwa kegiatan tersebut adalah sunah yang dianjurkan.

Sumber : Republika.co.id


Share on Google Plus

About Sahabat Almahdi Media

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar

Tanaman Obat, Cabe rawit, Cabe Jawa , Cakar ayam, Calingcing, Ceguk.

  Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) Sinonim : C. ,fastigiatum BL, C. minimum Roxb. Familia : olanaceae. Uraian : Tanaman budidaya, kadang...