Oleh: Ustadz Abu Rohim Ba'asir
Pada edisi kali ini melanjutkan pembahasan kajian Mahajiyah, Masih seputar Saidah Wajib Bersih Dari Berbagai Bentuk Kemusrikan...
b. Kemusyrikan karena mempertuhankan sesama manusia, yang meliputi:
1. Mempercayai bahwa ada manusia yang dapat mendatangkan manfaat, menolak mudharat, memberi berkah dan menyembuhkan sakit dan mengetahui prkara-perkars ghaib, sehingga ia dikeramatkan dan dijadikan tempat bergantung dalam mencari rezeki, keberkatan dan keselamatan, dijadikan tempat mengabdi sehingga ditaati dan dicintai secara mutlak. Perkara semacam ini dengan keras dinafikan/ ditiadakan oleh Allah SWT dan oleh Nabi Muhamad Saw
Dalam hal ini Allah menerangkan dalam firman Nya:
قُلْ اِنِّی لاَاَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّاوَلاَرَشَدَا قُلْ اِنِّی لَنْ يُجِيْرَنِی مِنَ االلّٰهِ اَحَدٌوَلَنْ اَجِدَمِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدَا
"Katakanlah; 'Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudhoratanpun kepadamu dan tidak pula sesuatu kemanfaatan".
"Katakanlah; sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari adzab Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain dari Nya. (Al-Jin :21,22)
Dan firmanya lagi:
عَلِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُضْهِرُ عَلَی غَيْبِهِ اَحَدَا اِلاَّمَنِ ارْتَضَی مِنْ رَسُولِ فَاِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
"Dia adalah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tengtang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang di Ridhoi Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga, (malaikat) dimuka dan di belakang Nya". (Al Jin,; 26,27).
Dan firmanya lagi:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (188) }
Katakanlah, "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (Al A'raaf: 188)
وَلا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ إِنِّي مَلَكٌ وَلا أَقُولُ لِلَّذِينَ تَزْدَرِي أَعْيُنُكُمْ لَنْ يُؤْتِيَهُمُ اللَّهُ خَيْرًا اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا فِي أَنْفُسِهِمْ إِنِّي إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
Aku Tidak mengatakan kepada kalian (bahwa), "Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah dan aku tiada mengetahui yang gaib; dan tidak (pula) aku mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat. Dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatan kalian, Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. ' Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka; sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim.” (HUD: 31)
Dari ayat-ayat tersebut diatas kita telah mendapat keterangan yang jelas bahwa nabi Muhamad Saw pada hakekatnya tidak mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain kecuali yang dikehendaki oleh Allah. Dan beliau tidak mengetahui barang ghaib kecuali yang diberitahukan Allah Swt. Maka jelaslah apabila ada manusia biasa, mengetahui barang ghaib atau mengaku dapat mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot bherarti dia telah menyekutukan dirinya kepada Allah Swt, dan orang yang mempercayainya telah berust syirik dan dia murtad dari Islam.
2. Termasuk perbuatan mrmpertuhankan manusia ialah:
mentaati fatwa orang Alim (Ulama, Kyai, Ustad dan lain-lain) yang jelas-jelas bertengtangan dengan Nas Al Qur'an dan Sunnah nabi Saw yakni: fatwa yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah Swt dan atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT. Perbuatan ini berarti musyrik karena mempertahankan Ulama. Kesyirikan semacam ini telah diamalkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Allah SWT berfirman dalam menerangkan hal ini:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain-Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At Taubah : 31)
Keterangan:
Ketika ayat ini dibacakan oleh Nabi Muhammad Saw dihadapan seorang pengikut Nasrani yang bernama Adit bin Hatim, yang akhirnya masuk Islam, setelah mendengar bacaan ayat tersebut, Adit membantah dan mengatakan bahwa orang Nasrani tidak pernah menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai Tuahan yang di sembah. Adit bin Hatim menyangka bahwa maksud menjadian pendeta sebagai Tuhan adalah dalam bentuk amalan menyembahnya dengan ruku' dan sujud dihadapannya, kemudian Rasulullah Saw menjelaskan maksud ayat tersebut bahwa yang dimaksud menjadikan pendeta mereka sebagai Tuhan-Tuhan
adalah bukan menyembahnya (ruku dan sujud) dihadapan mereka, tetapi yang dimaksud adalah sikap mentaati fatwa mereka meskipun fatwa tersebut jelas-jelas menghalalkan perkara yang
diharamkan oleh Allah dalam kitab sucinya dan atau mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab suci Nya.
Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah dalam riwayat berikut:
Diriwayatkan dari Adiy bin Hatim ia berkata: 'Saya datang menemui Nabi sedang di leherku tergantung sebuah salib dari emas maka Baginda bersabda: "Wahai Adiy buanglah berhala itu dari lehermu dan selanjutnya saya mendengar Baginda membaca ayat dalam surat Baro'ah (Taubah); Mereka menjadikan orang
orang alim mereka dan pendeta-pendeta merka menjadi Tuhan-Tuhan selain Allah (At Taubah : 31), lalu Baginda bersabda: "Bahwa sesungguhnya kaum Nasrami tidak menyembah mereka (orang-orang alim dan pendeta-pendetanya), tetapi
mereka (orang-orang alim dan
pendeta-pendeta) bila menghalalkan sesuatu (yang haram) untuk mereka
(pengikutnya), mereka (pengikutnya) juga ikut menghalalkan dan mengharamkan perkara yang halal untuk mereka, mereka pun ikut mengharamkan'. (HR Ahmad)
Maka dari keterangan ayat dan hadisi
tersebut diatas jelas bahwasanya siapa saja yang mentaati Fatwa para Ulama Kyai, Mubaligh, Ustadz yang jelas-jelas mengharamkan perkara yang halal atau sebaliknya berarti dia telah mengangkat yang memberi fatwa tersebut sebagai Tuhan selain
Allah, ini berarti perbuatan syirik yang menjadikan dia murtad. ...Bersambung...
Editor : Sayiaf
0 komentar:
Posting Komentar